BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti telah kita ketahui bersama,
bahwa hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon,
hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari
hutan yang tak ternilai harganya bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya
alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible
yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan
secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan
hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi,
perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi.
Keberadaan hutan, dalam hal ini daya
dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat
ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di
dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal
balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang
terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat
mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).
Mengingat pentingnya arti hutan bagi
masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut.
Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang
terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi
produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan sumberdaya
manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin
dicapai.
B. Definisi dan Pengertian Hutan
Hutan secara konsepsional yuridis
dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur
yang meliputi :
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam
lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang
lainnya.
d. Mampu memberi manfaat secara lestari.
Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan
hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling
ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai
subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain,
1996).
Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan
dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan
Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya
sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan,
terdapat unsur-unsur meliputi :
a. suatu wilayah tertentu
b. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Dari unsur pokok yang terkandung di dalam
definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya
wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin
diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan
sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi
dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai
kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya
kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan
hutan menjadi :
a. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan
dipertahankan sebagai hutan
tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan
fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal
5 ayat (2), sebagai berikut :
a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam
(cagar alam dan Suaka
Margasatwa), Kawasan
Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam), dan Taman Buru.
b. Hutan Lindung
c. Hutan Produksi
II. HUTAN SEBAGAI BAGIAN SUMBER DAYA ALAM
Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi
ke dalam bentuk (Zain, 1997) :
a. lahan pertanaian
b. hutan dengan aneka ragam hasilnya
c. lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah
d. perikanan darat dan laut
e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar
f. sumber energi non-mineral seperti : panas bumi, tenaga surya, angin,
sumber tenaga air,
gelombang pasang .
Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi
sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan
habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali
sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable
resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable
resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya.
Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam
nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan
sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan
internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus
dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem
dunia.
Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan.
Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga
dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari
hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa
hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan
berkelanjutan.
III. FUNGSI HUTAN DALAM PEMBANGUNAN
Dalam pola umum pembangunan jangka panjang kedua
diletakkan pada bidang ekonomi diantaranya dititikberatkan pada pembangunan
ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia. Seperti kehutanan dan
pertambangan harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam,
selain untuk memberi manfaat masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa
depan.
Sumberdaya alam yang terbaharui harus dikelola
sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa.
Oleh karena itu, sumberdaya alam harus dijaga agar kemampuannya untuk
memperbaharui diri sendiri selalu terpelihara. Sumberdaya alam yang tidak
terbaharukan harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan hasilnya selama
mungkin. Pembangunan kehutanan harus makin diarahkan untuk meningkatkan
pemanfaatan hutan bagi industri dalam negeri sehingga dapat menghasilkan nilai
tambah dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.
Kebijakan umum pembangunan kehutanan dalam Pelita VI dituangkan di
dalam GBHN 1993 sebagai berikut :
a. pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan fungsi
hutan, dan dengan mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan fungsi
lingkungan hidup, memelihara tata air, serta untuk memperluas kesempatan usaha
dan lapangan kerja, meningkatkan sumber dan pendapatan negara, devisa serta
mengacu pembangunan daerah.
b. Pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu diselenggarakan
melalui upaya peningkatan pengusahaan hutan produksi, hutan rakyat, hutan
tanaman industri dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam yang didukung
oleh penyediaan bibit hutan tanaman hutan yang unggul dan budidaya kehutanan
yang tangguh.
c. Hutan sebagai salah satu penentu ekosistem, pengelolaannya
ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan
memelihara fungsi tanah, air, udara, iklim dan
lingkungan hidup serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat.
d. Upaya rehabilitasi hutan dan tanah kritis, konservasi tanah,
rehabilitasi sungai, rawa, pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora dan
fauna langka serta pengembangan fungsi DAS ditingkatkan dan makin
disempurnakan.
e. Dalam pembangunan kehutanan, keikutsertaan masyarakat di kawasan
hutan sekitarnya termasuk masyarakat transmigrasi kehutanan perlu diberi
peluang dan ditingkatkan.
f. Pengusahaan hasil hutan disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya
alamnya agar kelestarian sumberdaya hutan terjamin dan perusakan lingkungan
dapat dicegah.
g. Pembangunan kehutanan perlu didukung dengan kegiatan penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan, peraturan perundang-undangan, penyediaan informasi
serta penelitian dan pengembangan.
Pada Inti kebijaksanaan pembinaan kawasan hutan,
terdapat langkah pelaksanaan sebagai berikut :
a. Percepatan pemantapan kawasan
b. Peningkatan mutu dan produktivitas kawasan hutan dan hutan rakyat
c. Peningkatan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan dan
pengelolaan hasil hutan
d. Peningkatan peran serta masyarakat, penanggulangan kemiskinan dan
peningkatan
pendapatan daerah
tertiunggal.
e. Peningkatan peran serta koperasi, usaha menengah, kecil dan
tradisional
f. Peningkatan daya dukung lahan melalui reboisasi dan rehabilitasi
lahan serta perbaikan
mutu lingkungan hidup
g. Peningkatan mutu fungsi kawasan-kawasan konservasi hutan lindung
h. Pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
i. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan
j. Peningkatan penyuluhan kehutanan, peran pemuda dan wanita dalam
pembangunan
kehutanan
k. Pengamanan hutan, hasil hutan dan sumberdaya alam hayati lainnya.
l. Peningkatan peran peneliti dan pengembangan dalam pembangunan
kehutanan
m. Pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang maju dan mandiri
serta memiliki
motivasi yang tinggi.
n. Penyempurnaan kelembangaan, peraturan perundang-undangan dan sistem
informasi
manajemen kehutanan.
IV. PERANAN HUTAN BAGI MASYARAKAT
Hutan memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Salah satunya adalah dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Peranan
hutan dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat direalisasikan dalam bentuk
antara lain :
A. Hutan Kemasyarakatan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan
perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang
dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri
untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan
dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan
menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada
pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri (Community Based
Forest Manajemen). Oleh karena itu prosesnya berjalan melalui perencanaan
bawah-atas, dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah secara efektif, terus
menerus dan berkelanjutan. (Dephutbun, 1999).
Pengusahaan hutan kemasyarakatan dikembangkan berdasarkan keberpihakan
kepada rakyat khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan,
dengan prinsip-prinsip :
a. Masyarakat sebagai pelaku utama
b. Masyarakat sebagai pengambil keputusan
c. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat.
d. Kepastian hak dan kewajiban semua pihak
e. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemandu program
f. Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan keanekaragaman
budaya
Berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan
kemasyarakatan memiliki pola yang berbeda untuk setiap status kawasan hutan,
disesuaikan dengan fungsi utamanya :
a. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan tujuan utama untuk
memproduksi hasil hutan berupa kayu dan non kayu serta jasa lingkungan, baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan.
b. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan tujuan utama tetap
menjaga fungsi perlindungan terhadap air dan tanah (Hidrologis), dengan memberi
pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan non kayu dan jasa rekreasi, baik
untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Tidak diperkenankan
pemungutan hasil hutan kayu.
c. Pada kawasan pelestarian alam, dilaksanakan dengan tujuan utama
untuk perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada
hakekatnya perlindungan terhadap plasma nutfah. Oleh karena itu pada kawasan
ini kegiatan hutan kemasyarakatan terbatas pada pengelolaan jasa lingkungan
khususnya jasa wisata.
Menurut Kepala pusat informasi Kehutanan, untuk
tahun 2003 ditetapkan 22 lokasi yang tersebar di 17 provinsi dengan luas
masing-masing 2.500 hektar. Lokasi yang menjadi pengembangan hutan
kemasyarakatan ini merupakan bekas HPH/HTI, taman nasional, areal HPH/HTI
aktif, hutan lindung, serta lokasi pemberdayaan masyarakat yang telah
dikembangkan sebelumnya (Fathoni, 2003).
B. Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas
minimal 0.25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau
tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999).
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya,
merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi kesejahteraan
masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor
lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam
untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor
yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.
Pada hutan ini dilakukan penanaman dengan
mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa
dikenal dengan istilah agroforestry. Pola pemanfaatan lahan seperti ini banyak
manfaatnya, antara lain:
a. Pendapatan per satuan lahan bertambah
b. Erosi dapat ditekan
c. Hama dan penyakit lebih dapat dikendalikan
d. Biaya perawatan tanaman dapat dihemat
e. Waktu petani di lahan lebih lama.
Ada beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan
di hutan rakyat, seperti : Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu
putih (Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), Sungkai (Peronema
canescens), Akasia (Acacia sp.), Jati putih (Gmelina arborea),
Johar (Cassia siamea), Kemiri (Aleurites moluccana), kapuk randu
(Ceiba petandra), Jabon (Anthocepallus cadamba), Mahoni (Swietenia
macrophylla), bambu (Bambusa), mimba (Azadirachta indica),
cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra
calothyrsus). Dari beberapa jenis pohon tersebut, menurut Sumarna (2001)
terdapat 4 pohon serba guna karena memiliki kemampuan beradaptasi diberbagai
kondisi tapak, cepat tumbuh, dan menghasilkan banyak produk, seperti kayu bakar
berkualitas tinggi, kayu pertukangan berdiameter kecil, dan pakan ternak. Pohon
tersebut adalah : akasia (Acacia auriculiformis), mimba (Azadirachta
indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra
calothyrsus). Ampas biji mimba setelah diekstraksi merupakan pupuk yang
mengandung hara tanaman beberapa kali lipat lebih banyak dari pupuk kandang.
BAB III METODE
PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk tipe penelitian
deskriptif kualitatif, sesuai dengan topik
studi yang diangkat. Uraian deskriptif yang dimaksud yaitu
mendeskripsikan persepsi dan
perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah
resapan air,
sedangkan pendekatan kualitatif dibutuhkan untuk melengkapi informasi
dalam
memahami fenomena sosial berdasarkan pada kenyataan dilapangan.
3.2 Ruang Lingkup
3.2.1 Waktu, Lokasi, dan
Substansi Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Desember
2008 sampai dengan bulan
April 2009, dimana di dalamnya meliputi proses survei dan analisa
data. Lokasi
penelitian berada di sekitar kawasan Wanawisata Penggaron, Desa
Susukan, Kabupaten
Semarang, yang dibatasi dalam beberapa kelurahan terdekat yang secara
hukum telah
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Adapun substansi penelitian ini
terkait dengan sumber
daya hutan, etika lingkungan, konservasi sumber daya alam, dan
psikologi lingkungan.
3.2.2 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah masyarakat Dukuh Kaligawe yang
tinggal di kawasan Hutan
Penggaron Kelurahan Susukan Kabupaten Semarang. Kuesioner yang
disebarkan kepada
masyarakat tersebut dibagi menjadi 6 kelompok pertanyaan (sebagaimana
dapat dilihat
pada lampiran kuesioner). Target penyebaran kuesioner adalah
masyarakat yang tinggal
di Dukuh Kaligawe sekitar Hutan Penggaron yang termasuk dalam lingkup
administrasi
Kelurahan Susukan Kabupaten Semarang.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik
sampling purposive yaitu
pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan tujuan tertentu.
Sampling purposive
akan baik hasilnya di tangan seorang ahli yang mengenal populasi
(Sudjana, 1992 :168).
Tujuan
BAB
IV HASIL PEMBAHASAN
4.1Analisis
Kondisi Hutan Penggaron
Hutan
Penggaron merupakan kawasan hutan yang secara administrasi termasuk
dalam lingkup
Kabupaten dan Kota Semarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
hutan ini
memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi sosial, ekologis, dan ekonomis. Terkait
fungsi sosial
hutan sebagai tempat wisata/ rekreasi, masyarakat setempat telah
mengetahui bahwa
Hutan Penggaron sebagian digunakan sebagai wanawisata, yaitu
seluas 372 ha
dari total luas hutan 1.578,5 ha. Wanawisata Penggaron ini merupakan
fasilitas
rekreasi untuk masyarakat umum (public recreation area) yang dikelola
oleh
RPH Wisata
Penggaron. Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, fasilitas
wanawisata ini
telah berkembang menjadi fasilitas rekreasi skala regional dimana
wisatawan yang
berkunjung ke areal wanawisata ini berasal dari Kota Semarang,
Kabupaten
Semarang, Salatiga, Boyolali, dan Magelang. Terdapat beberapa fasilitas
wisata untuk
mewadahi aktivitas wisata di Hutan Penggaron, diantaranya adalah loket
karcis, papan
nama wisata, perparkiran pengunjung, bumi perkemahan (driving range)
seluas 6 ha dan
lapangan golf seluas 4 ha. Berbagai fasilitas wisata tersebut menunjukkan
karakter yang
jelas bahwa kawasan tersebut memang digunakan sebagai kawasan wisata
di dalam kawasan
hutan. Disamping kunjungan reguler wisatawan, di Wanawisata
Penggaron, pada
waktu-waktu tertentu juga tempat berlangsungnya aktivitas hiburan
untuk umum,
misalnya pertunjukan kesenian, pagelaran musik dangdut, lomba
menggambar untuk
anak, dan sebagainya. Sebagai dampak ikutan dari tumbuhnya
kegiatan wisata
di Penggaron ini, warga setempat juga terlibat sebagai tenaga kerja di
fasilitas wisata
Penggaron ini, diantaranya sebagai penjaga loket karcis, tukang parkir,
maupun berjualan
di dalam area wanawisata pada saat ada kegiatan pertunjukan di
Wanawisata
Penggaron. Aktivitas yang telah berlangsung di Wanawisata Penggaron ini
merupakan bagian
dari pengalaman hidup masyarakat Penggaron sehari-hari sekaligus
merupakan sumber
informasi bagi masyarakat dalam mempersepsikan fungsi sosial
hutan.
Lahan Perkemahan
Wanawisata Penggaron
Sumber :
Pengamatan Lapangan, 2009
Terkait fungsi
ekologi, berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan,
masyarakat setempat menggunakan
mata air yang ada di kawasan Hutan Penggaron
untuk memenuhi konsumsi air
domestik (rumah tangga) maupun fasilitas ibadah
(masjid/musholla). Beberapa mata
air yang digunakan oleh masyarakat tersebut
diantaranya yaitu : 1) Mata Air
di Dusun Mluweh, Dukuh Jleper, Ungaran Timur ; 2)
Mata air di dalam kawasan hutan
di sekitar Perumahan Pring Kurung, Ungaran Timur;
dan 3) Mata Air di Dukuh Sidoro,
Kelurahan Jabungan. Proses pemanfaatan mata air
sebagai sumber air warga
tersebut, pertama-tama air ditampung terlebih dahulu pada bak
tandon air, kemudian secara
gravitasi dialirkan menggunakan pipa atau selang ke rumahrumah
warga, yang kontinyu mengalir
baik pada musim penghujan maupun musim
kemarau dan sudah sejak lama
dikelola secara swadaya oleh masyarkat setempat, dalam
hal pengadaan pipa sambungan air
dan pembangunan bak tandon air. Meskipun ada juga
bak tandon air yang berasal dari
bantuan Dinas Pekerjaan Umum. Warga yang rumahnya
berada pada lokasi yang memiliki
ketinggian yang lebih tinggi dari tandon air, mereka
mengambil air menggunakan jerigen
yang diisi di lokasi tertentu dimana ada pipa air
bersih yang terdekat dengan rumah
tinggalnya. Mereka mengambil air minimal 2 hari
sekali untuk digunakan sebagai
air kebutuhan rumah tangga untuk memasak, mencuci,
dan sumber air minum. Berdasarkan
uraian tersebut, warga Penggaron mendapatkan
keuntungan dari keberadaan sumber
daya alam (sumber air) yang berada di kawasan
Hutan Penggaron. Mereka telah
memiliki kemampuan secara swadaya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Pemanfaatan sumber daya alam berupa
sumber air bersih tersebut
merupakan sumber informasi bagi masyarakat untuk
mempersepsikan
fungsi ekologis hutan.
Analisis
Perilaku (Kegiatan Ekonomi) Masyarakat Terkait Keberadaan
Hutan Lindung
Kawasan Hutan
Penggaron merupakan kawasan hutan yang berada dalam lingkup
2 wilayah administrasi kabupaten/
kota, yaitu Kabupaten Semarang dan Kota Semarang.
Kawasan hutan ini juga dilalui
oleh jalur jalan lokal dan regional dengan kondisi aspal
permanen yang menghubungkan
wilayah Kabupaten - Kota Semarang dan wilayah
sekitarnya (Salatiga, Boyolali,
Magelang, Solo, Jogjakarta). Dampak dari dilaluinya
kawasan hutan oleh jalur jalan
lokal dan regional tersebut disamping memicu tumbuhnya
kegiatan perumahan tradisional
oleh warga masyarakat dan permukiman terencana oleh
pengembang (berikut aktivitas
sosial ekonomi ikutannya), juga menjadikan kawasan
Hutan Penggaron sebagai bagian
dari jalur distribusi ekonomi regional, ditambah adanya
harga lahan yang masih murah di
kawasan hutan, maka akan mempertinggi minat
penguasaan lahan yang berada di
sekitar kawasan hutan oleh individu, misalnya yang
sudah ada yaitu
untuk pemakaman Cina.
Adanya fasilitas
jaringan jalan, permukiman, dan fasilitas sosial ekonomi
pendukungnya yang ada di kawasan
Hutan Penggaron, mengindikasikan bahwa kawasan
hutan ini relatif terbuka bagi
masuknya kegiatan yang berorientasi kegiatan budidaya.
Adanya fasilitas permukiman
penduduk yang berada di kawasan hutan serta budidaya
pertanian di kawasan hutan,
lambat laun seiring pertumbuhan penduduk tentu bisa
berdampak terhadap berkurangnya
luas hutan. Berdasarkan wawancara di lapangan,
perkembangan infrastruktur di
Kawasan Penggaron yang selama ini ada merupakan andil
dari peran serta swasta,
perhutani, pemerintah, dan masyarakat. Terlepas dari tujuan
pembangunan yang selama ini telah
dilakukan, fakta tersebut mengindikasikan bahwa
Kawasan Hutan Penggaron bukan
merupakan kawasan hutan yang terisolir, melainkan
sangat dekat dengan aktivitas
budidaya yang telah tumbuh dan sangat berpotensi secara
alamiah untuk mengganggu
berfungsinya hutan sebagai kawasan resapan air. Fakta di
lapangan juga menunjukkan bahwa
aktivitas pertanian yang dilakukan oleh warga
setempat berlokasi di kawasan
perbukitan yang sudah gundul (minim vegetasi) dan
berdasarkan wawancara di
lapangan, lokasi sawah tersebut dahulunya merupakan area
tanaman pinus. Disamping
aktivitas ekonomi berupa pertanian, warga Penggaron juga
menjalankan aktivitas ekonomi
(perdagangan dan jasa) di sekitar permukiman warga,
misalnya warung
kelontong, warung makan, salon, bengkel, dan sablon.
BAB V KESIMPULAN
DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
4.2 Kondisi
Hutan Penggaron sebagai Daerah Resapan Air
Berdasarkan
kajian analisis yang telah dilakukan, maka perkembangan aktivitas
budidaya di kawasan Hutan
Penggaron berpotensi untuk mengganggu fungsi Hutan
Penggaron sebagai daerah resapan
air, jadi meskipun luas areal Hutan Penggaron tetap
namun kualitas fungsi hutannya
sebagai daerah resapan air telah berkurang. Gangguan
yang terjadi akibat dari
perkembangan aktivitas budidaya tersebut adalah : kegiatan
wisata, kegiatan pertanian,
aktivitas sehari-hari masyarakat (mencari kayu bakar, mencari
pakan ternak, menggembala ternak
dan bertani (sawah dan ladang) di kawasan Hutan
Penggaron, perkembangan sarana
prasarana permukiman (jalan, jaringan listrik, fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan,
dan sebagainya), kerapatan vegetasi pohon yang ada di
sekitar area permukiman relatif
lebih jarang dibandingkan dengan kerapatan pohon yang
tidak berlokasi di dekat area
permukiman, dan adanya jalur jalan lokal dan regional
tersebut yang memicu tumbuhnya
kegiatan perumahan tradisional oleh warga masyarakat
dan permukiman terencana oleh
pengembang juga minat penguasaan lahan yang berada
di sekitar kawasan hutan oleh
individu yang sudah ada untuk pemakaman Cina.
Berdasarkan
poin-poin aktivitas budidaya yang mengganggu kelestarian fungsi
hutan tersebut di atas merupakan
fenomena perilaku masyarakat setempat yang diteliti
dalam studi dan sekaligus
merupakan indikasi awal terganggunya fungsi Hutan
Penggaron sebagai daerah resapan
air. Meskipun studi ini tidak secara langsung
mengukur besarnya dampak yang
telah terjadi akibat aktivitas budidaya tersebut.
Kesimpulan
adanya gangguan fungsi lindung terhadap Hutan Penggaron didasarkan
kepada amanat undang-undang
kehutanan bahwa di kawasan yang berfungsi lindung
tidak boleh dilakukan aktivitas
budidaya. Disamping itu, juga terdapat kecenderungan
perilaku aktivitas budidaya yang
dilakukan oleh masyarakat setempat semakin meluas
pada areal Hutan Penggaron yang
diindikasikan dengan adanya pembukaan lahan-lahan
baru di areal hutan untuk sawah
atau ladang. Semakin luasnya areal-areal sawah dan ladang di kawasan hutan
lindung merupakan indikasi kuat bahwa fungsi hutan sebagai
daerah resapan
air telah terganggu.
4.3. Persepsi
dan Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Fungsi Hutan sebagai
Daerah Resapan Air
adalah :
4.4. Persepsi
Masyarakat tentang Fungsi Hutan
Ada perbedaan
persepsi tentang fungsi hutan menurut kajian teori dan menurut
persepsi masyarakat. Menurut
kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas
dari bentuk pemanfaatannya (hutan
produksi, suaka alam, dan sebagainya). Sehingga
aktivitas budidaya seharusnya
tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena akan
mengganggu fungsi lindung itu
sendiri. Sedangkan menurut persepsi masyarakat, hutan
memiliki banyak fungsi (fungsi
majemuk) yaitu sebagai tempat rekreasi / berlibur (fungsi
sosial), tempat menyimpan
cadangan air dan mencegah banjir/ erosi (fungsi ekologi),
tempat mencari penghasilan
(fungsi ekonomi), dan fungsi lainnya.
4.5. Persepsi
Masyarakat tentang Kebijakan Pengelolaan Hutan
Masyarakat tidak
mengetahui regulasi terkait dengan hutan, sehingga masyarakat
tidak memiliki kerangka persepsi
yang holistik tentang hutan lindung sebagai daerah
resapan air. Masyarakat juga
tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam rangka
pelestarian hutan, sehingga
perilaku masyarakat yang tinggal di kawasan hutan tersebut
tidak berjalan pada hak dan
kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang
kehutanan tersebut.
4.6.Persepsi
Masyarakat tentang Kelembagaan Pengelolaan Hutan
Menurut persepsi
masyarakat mereka bukan merupakan bagian dari lembaga
pengelola hutan. Sehingga adanya
persepsi tersebut berdampak terhadap timbulnya
perilaku masyarakat yang tidak
sesuai dengan ketentuan pengelolaan hutan karena
masyarakat merasa bahwa mereka
tidak terikat aturan yang ada di lembaga pengelola
hutan.
4.7. Persepsi
Masyarakat tentang Hak dan Kewajiban dalam Pengelolaan Hutan
Masyarakat
memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik umum
(common property) sehingga
mereka merasa berhak mengelola hutan dan memiliki
kewajiban memelihara kelestarian
hutan sebagai daerah resapan air. Timbulnya persepsi
tersebut erat kaitannya dengan
kepentingan masyarakat untuk memiliki akses terhadap
sumber daya hutan sebagai sumber
mata pencaharian.
4.8. Perilaku
Masyarakat (Aktivitas) Terkait Keberadaan Hutan Lindung
Menurut persepsi
masyarakat, aktivitas (perilaku) yang mereka lakukan tidak
mengganggu fungsi hutan. Adanya
persepsi ini berarti masyarakat belum memiliki
pemahaman bahwa aktivitas
budidaya tidak boleh berlangsung di kawasan yang
berfungsi lindung. Aktivitas yang
tidak boleh dilakukan di kawasan hutan tetapi justru
dilakukan di
kawasan Hutan Penggaron adalah membakar hutan.
SARAN
Saran dalam
studi ini diperlukan tindakan masyarakat terarah untuk menuju
kepada tumbuhnya persepsi dan
perilaku masyarakat yang memiliki karakteristik persepsi
dan perilaku yang berorientasi
pada pelestarian hutan. Aktivitas budidaya yang telah
berkembang perlu didata untuk
secara berkala dimonitor sehingga dapat diketahui
perubahan luas tutupan areal
Hutan Penggaron, untuk memantau rasio antara luas
kawasan budidaya dan luas kawasan
non budidaya (hutan) sehingga kebijakan yang
dikeluarkan nantinya jelas bahwa
di kawasan non budidaya tidak boleh berkembang
kegiatan budidaya yang mengganggu
fungsi hutan sebagai daerah resapan air. Studi
lanjut diperlukan untuk menelaah
tentang besarnya dampak aktivitas budidaya terhadap
fungsi Hutan Penggaron sebagai
daerah resapan air.
Sumber informasi
yang membentuk persepsi dan perilaku masyarakat tentang
fungsi hutan harus dikelola
sehingga mengarah kepada timbulnya persepsi tentang fungsi
hakiki hutan sebagai daerah
resapan air. Aktivitas Wanawisata Penggaron dapat
digunakan sebagai pusat informasi
(information center) yang berfungsi menyampaikan
informasi baik kepada pengunjung
yang berasal dari luar Penggaron maupun kepada
masyarakat yang tinggal di
kawasan Hutan Penggaron. Aktivitas pertanian yang sudah
ada harus dibatasi. Rumah warga
setempat perlu dilengkapi dengan sarana resapan air,
misalnya embung sebagai
kompensasi pemanfaatan areal hutan untuk pertanian semusim
dan perumahan/ permukiman. Perlu
ada pendataan status hak milik tanah untuk
menjamin hak dan kewajiban
pemilik lahan, sehingga tidak akan memunculkan kesan tentang hutan sebagai
barang publik (public goods) yang dilindungi dan tidak boleh
dimanfaatkan oleh individu tanpa
seijin instansi berwenang.
Perlu tindakan
sosialisasi dalam rangka mengarahkan persepsi dan perilaku
masyarakat setempat agar secara
holistik memahami makna pelestarian hutan yang
menyangkut keterkaitan antara
daerah hulu dan hilir sesuai dengan hukum yang
mengaturnya (Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan berikut
peraturan pelaksanaannya). Dalam
rangka sosialisasi ini, perlu juga dirumuskan tingkat
kedalaman materi yang perlu
disampaikan terkait dengan konteks kejadian di lapangan
yang ada (keseimbangan teori dan
praktek), misalnya dalam hal aktivitas pertanian yang
1 komentar:
Sip..
Post a Comment