download

Friday, October 7, 2011

karya tulis mengenai hutan



BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti telah kita ketahui bersama, bahwa hutan merupakan paru-paru bumi tempat berbagai satwa hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumberdaya lainnya yang bisa kita dapatkan dari hutan yang tak ternilai harganya bagi manusia. Hutan juga merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang dirasakan secara langsung, maupun intangible yang dirasakan secara tidak langsung. Manfaat langsung seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil tambang. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata air, pencegahan erosi.
Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).
Mengingat pentingnya arti hutan bagi masyarakat, maka peranan dan fungsi hutan tersebut perlu dikaji lebih lanjut. Pemanfaatan sumberdaya alam hutan apabila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata dengan dukungan kemampuan pengembangan sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai.

B. Definisi dan Pengertian Hutan
Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.
Dari definisi hutan yang disebutkan, terdapat unsur-unsur yang meliputi :
a. Suatu kesatuan ekosistem
b. Berupa hamparan lahan
c. Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan
   satu dengan yang lainnya.
d. Mampu memberi manfaat secara lestari.

Keempat ciri pokok dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan, merupakan rangkaian kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi. Eksistensi hutan sebagai subekosistem global menenpatikan posisi penting sebagai paru-paru dunia (Zain, 1996).
Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dari definisi dan penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur meliputi :
a. suatu wilayah tertentu
b. terdapat hutan atau tidak tidak terdapat hutan
c. ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan
d. didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.

Dari unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30 % dari luas daratan.
Berdasarkan kriteria pertimbangan pentingnya kawasan hutan, maka sesuai dengan peruntukannya menteri menetapkan kawasan hutan menjadi :
a. wilayah yang berhutan yang perlu dipertahankan sebagai hutan tetap
b. wilayah tidak berhutan yang perlu dihutankan kembali dan dipertahankan sebagai hutan
   tetap.
Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut :
a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka
   Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
   Taman     Wisata Alam), dan Taman Buru.
b. Hutan Lindung
c. Hutan Produksi


II. HUTAN SEBAGAI BAGIAN SUMBER DAYA ALAM
Secara umum klasifikasi sumberdaya alam terbagi ke dalam bentuk (Zain, 1997) :
a. lahan pertanaian
b. hutan dengan aneka ragam hasilnya
c. lahan alami untuk keindahan, rekreasi atau untuk penelitian ilmiah
d. perikanan darat dan laut
e. sumber mineral bahan bakar dan non bahan bakar
f. sumber energi non-mineral seperti : panas bumi, tenaga surya, angin, sumber tenaga air,
   gelombang pasang .

Sumber daya alam dapat dibedakan menjadi sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat diisi kembali atau tidak akan habis dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan kembali sebagaimana keadaan semula. Biasanya kita kelompokkan sebagai renewable resources, seperti hutan, perikanan, hasil pertanian dan non-renewable resources, seperti biji mineral, bahan bakar fosil dan sebagainya.
Hutan sebagai bagian dari sumberdaya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan lingkungan hidup. Telah diterima sebagai kesepakatan internasional bahwa hutan yang berfungsi penting bagi kehidupan dunia, harus dibina dan dilindungi dari berbagai tindakan yang berakibat rusaknya ekosistem dunia.
Hutan memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya sehingga dapat berfungsi secara optimal. Fungsi-fungsi ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan akan memberikan peranan nyata apabila pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan seiring dengan upaya pelestarian guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

III. FUNGSI HUTAN DALAM PEMBANGUNAN
Dalam pola umum pembangunan jangka panjang kedua diletakkan pada bidang ekonomi diantaranya dititikberatkan pada pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia. Seperti kehutanan dan pertambangan harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, selain untuk memberi manfaat masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan.
Sumberdaya alam yang terbaharui harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa. Oleh karena itu, sumberdaya alam harus dijaga agar kemampuannya untuk memperbaharui diri sendiri selalu terpelihara. Sumberdaya alam yang tidak terbaharukan harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan hasilnya selama mungkin. Pembangunan kehutanan harus makin diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan hutan bagi industri dalam negeri sehingga dapat menghasilkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang sebesar-besarnya.
Kebijakan umum pembangunan kehutanan dalam Pelita VI dituangkan di dalam GBHN 1993 sebagai berikut :

a. pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan fungsi hutan, dan dengan mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan fungsi lingkungan hidup, memelihara tata air, serta untuk memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, meningkatkan sumber dan pendapatan negara, devisa serta mengacu pembangunan daerah.

b. Pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu diselenggarakan melalui upaya peningkatan pengusahaan hutan produksi, hutan rakyat, hutan tanaman industri dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam yang didukung oleh penyediaan bibit hutan tanaman hutan yang unggul dan budidaya kehutanan yang tangguh.

c. Hutan sebagai salah satu penentu ekosistem, pengelolaannya ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan memelihara fungsi tanah, air, udara, iklim dan

lingkungan hidup serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

d. Upaya rehabilitasi hutan dan tanah kritis, konservasi tanah, rehabilitasi sungai, rawa, pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora dan fauna langka serta pengembangan fungsi DAS ditingkatkan dan makin disempurnakan.

e. Dalam pembangunan kehutanan, keikutsertaan masyarakat di kawasan hutan sekitarnya termasuk masyarakat transmigrasi kehutanan perlu diberi peluang dan ditingkatkan.

f. Pengusahaan hasil hutan disesuaikan dengan daya dukung sumberdaya alamnya agar kelestarian sumberdaya hutan terjamin dan perusakan lingkungan dapat dicegah.

g. Pembangunan kehutanan perlu didukung dengan kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan, peraturan perundang-undangan, penyediaan informasi serta penelitian dan pengembangan.

Pada Inti kebijaksanaan pembinaan kawasan hutan, terdapat langkah pelaksanaan sebagai berikut :
a. Percepatan pemantapan kawasan
b. Peningkatan mutu dan produktivitas kawasan hutan dan hutan rakyat
c. Peningkatan efisiensi dan produktivitas pengelolaan hutan dan pengelolaan hasil hutan
d. Peningkatan peran serta masyarakat, penanggulangan kemiskinan dan peningkatan
    pendapatan daerah tertiunggal.
e. Peningkatan peran serta koperasi, usaha menengah, kecil dan tradisional
f. Peningkatan daya dukung lahan melalui reboisasi dan rehabilitasi lahan serta perbaikan
   mutu lingkungan hidup
g. Peningkatan mutu fungsi kawasan-kawasan konservasi hutan lindung
h. Pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
i. Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan
j. Peningkatan penyuluhan kehutanan, peran pemuda dan wanita dalam pembangunan
   kehutanan
k. Pengamanan hutan, hasil hutan dan sumberdaya alam hayati lainnya.
l. Peningkatan peran peneliti dan pengembangan dalam pembangunan kehutanan
m. Pengembangan kualitas sumberdaya manusia yang maju dan mandiri serta memiliki
    motivasi yang tinggi.
n. Penyempurnaan kelembangaan, peraturan perundang-undangan dan sistem informasi
    manajemen kehutanan.


IV. PERANAN HUTAN BAGI MASYARAKAT
Hutan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Peranan hutan dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat direalisasikan dalam bentuk antara lain :

A. Hutan Kemasyarakatan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau  ditetapkan oleh menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat.
Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri (Community Based Forest Manajemen). Oleh karena itu prosesnya berjalan melalui perencanaan bawah-atas, dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah secara efektif, terus menerus dan berkelanjutan. (Dephutbun, 1999).
Pengusahaan hutan kemasyarakatan dikembangkan berdasarkan keberpihakan kepada rakyat khususnya rakyat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan, dengan prinsip-prinsip :
a. Masyarakat sebagai pelaku utama
b. Masyarakat sebagai pengambil keputusan
c. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat.
d. Kepastian hak dan kewajiban semua pihak
e. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemandu program
f. Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan keanekaragaman budaya

Berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan kemasyarakatan memiliki pola yang berbeda untuk setiap status kawasan hutan, disesuaikan dengan fungsi utamanya :

a. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan tujuan utama untuk memproduksi hasil hutan berupa kayu dan non kayu serta jasa lingkungan, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan.

b. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan tujuan utama tetap menjaga fungsi perlindungan terhadap air dan tanah (Hidrologis), dengan memberi pemanfaatan hasil hutan berupa hasil hutan non kayu dan jasa rekreasi, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk diusahakan. Tidak diperkenankan pemungutan hasil hutan kayu.

c. Pada kawasan pelestarian alam, dilaksanakan dengan tujuan utama untuk perlindungan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada hakekatnya perlindungan terhadap plasma nutfah. Oleh karena itu pada kawasan ini kegiatan hutan kemasyarakatan terbatas pada pengelolaan jasa lingkungan khususnya jasa wisata.

Menurut Kepala pusat informasi Kehutanan, untuk tahun 2003 ditetapkan 22 lokasi yang tersebar di 17 provinsi dengan luas masing-masing 2.500 hektar. Lokasi yang menjadi pengembangan hutan kemasyarakatan ini merupakan bekas HPH/HTI, taman nasional, areal HPH/HTI aktif, hutan lindung, serta lokasi pemberdayaan masyarakat yang telah dikembangkan sebelumnya (Fathoni, 2003).

B. Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999).
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah,  peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.
Pada hutan ini dilakukan penanaman dengan mengkombinasikan tanaman perkayuan dengan tanaman pangan/palawija yang biasa dikenal dengan istilah agroforestry. Pola pemanfaatan lahan seperti ini banyak manfaatnya, antara lain:
a. Pendapatan per satuan lahan bertambah
b. Erosi dapat ditekan
c. Hama dan penyakit lebih dapat dikendalikan
d. Biaya perawatan tanaman dapat dihemat
e. Waktu petani di lahan lebih lama.

Ada beberapa tanaman perkayuan yang dikembangkan di hutan rakyat, seperti : Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu putih (Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), Sungkai (Peronema canescens), Akasia (Acacia sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Johar (Cassia siamea), Kemiri (Aleurites moluccana), kapuk randu (Ceiba petandra), Jabon (Anthocepallus cadamba), Mahoni (Swietenia macrophylla), bambu (Bambusa), mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Dari beberapa jenis pohon tersebut, menurut Sumarna (2001) terdapat 4 pohon serba guna karena memiliki kemampuan beradaptasi diberbagai kondisi tapak, cepat tumbuh, dan menghasilkan banyak produk, seperti kayu bakar berkualitas tinggi, kayu pertukangan berdiameter kecil, dan pakan ternak. Pohon tersebut adalah : akasia (Acacia auriculiformis), mimba (Azadirachta indica), cemara pantai (Casuarina equisetifolia), dan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Ampas biji mimba setelah diekstraksi merupakan pupuk yang mengandung hara tanaman beberapa kali lipat lebih banyak dari pupuk kandang.






BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini termasuk tipe penelitian deskriptif kualitatif, sesuai dengan topik
studi yang diangkat. Uraian deskriptif yang dimaksud yaitu mendeskripsikan persepsi dan
perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan sebagai daerah resapan air,
sedangkan pendekatan kualitatif dibutuhkan untuk melengkapi informasi dalam
memahami fenomena sosial berdasarkan pada kenyataan dilapangan.
3.2 Ruang Lingkup
3.2.1 Waktu, Lokasi, dan Substansi Penelitian
Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan
April 2009, dimana di dalamnya meliputi proses survei dan analisa data. Lokasi
penelitian berada di sekitar kawasan Wanawisata Penggaron, Desa Susukan, Kabupaten
Semarang, yang dibatasi dalam beberapa kelurahan terdekat yang secara hukum telah
ditetapkan sebagai kawasan hutan. Adapun substansi penelitian ini terkait dengan sumber
daya hutan, etika lingkungan, konservasi sumber daya alam, dan psikologi lingkungan.
3.2.2 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi adalah masyarakat Dukuh Kaligawe yang tinggal di kawasan Hutan
Penggaron Kelurahan Susukan Kabupaten Semarang. Kuesioner yang disebarkan kepada
masyarakat tersebut dibagi menjadi 6 kelompok pertanyaan (sebagaimana dapat dilihat
pada lampiran kuesioner). Target penyebaran kuesioner adalah masyarakat yang tinggal
di Dukuh Kaligawe sekitar Hutan Penggaron yang termasuk dalam lingkup administrasi
Kelurahan Susukan Kabupaten Semarang.
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik sampling purposive yaitu
pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Sampling purposive
akan baik hasilnya di tangan seorang ahli yang mengenal populasi (Sudjana, 1992 :168).
Tujuan




















BAB IV HASIL PEMBAHASAN
4.1Analisis Kondisi Hutan Penggaron
Hutan Penggaron merupakan kawasan hutan yang secara administrasi termasuk
dalam lingkup Kabupaten dan Kota Semarang. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
hutan ini memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi sosial, ekologis, dan ekonomis. Terkait
fungsi sosial hutan sebagai tempat wisata/ rekreasi, masyarakat setempat telah
mengetahui bahwa Hutan Penggaron sebagian digunakan sebagai wanawisata, yaitu
seluas 372 ha dari total luas hutan 1.578,5 ha. Wanawisata Penggaron ini merupakan
fasilitas rekreasi untuk masyarakat umum (public recreation area) yang dikelola oleh
RPH Wisata Penggaron. Berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan, fasilitas
wanawisata ini telah berkembang menjadi fasilitas rekreasi skala regional dimana
wisatawan yang berkunjung ke areal wanawisata ini berasal dari Kota Semarang,
Kabupaten Semarang, Salatiga, Boyolali, dan Magelang. Terdapat beberapa fasilitas
wisata untuk mewadahi aktivitas wisata di Hutan Penggaron, diantaranya adalah loket
karcis, papan nama wisata, perparkiran pengunjung, bumi perkemahan (driving range)
seluas 6 ha dan lapangan golf seluas 4 ha. Berbagai fasilitas wisata tersebut menunjukkan
karakter yang jelas bahwa kawasan tersebut memang digunakan sebagai kawasan wisata
di dalam kawasan hutan. Disamping kunjungan reguler wisatawan, di Wanawisata
Penggaron, pada waktu-waktu tertentu juga tempat berlangsungnya aktivitas hiburan
untuk umum, misalnya pertunjukan kesenian, pagelaran musik dangdut, lomba
menggambar untuk anak, dan sebagainya. Sebagai dampak ikutan dari tumbuhnya
kegiatan wisata di Penggaron ini, warga setempat juga terlibat sebagai tenaga kerja di
fasilitas wisata Penggaron ini, diantaranya sebagai penjaga loket karcis, tukang parkir,
maupun berjualan di dalam area wanawisata pada saat ada kegiatan pertunjukan di
Wanawisata Penggaron. Aktivitas yang telah berlangsung di Wanawisata Penggaron ini
merupakan bagian dari pengalaman hidup masyarakat Penggaron sehari-hari sekaligus
merupakan sumber informasi bagi masyarakat dalam mempersepsikan fungsi sosial
hutan.
Lahan Perkemahan Wanawisata Penggaron
Sumber : Pengamatan Lapangan, 2009
Terkait fungsi ekologi, berdasarkan pengamatan dan wawancara di lapangan,
masyarakat setempat menggunakan mata air yang ada di kawasan Hutan Penggaron
untuk memenuhi konsumsi air domestik (rumah tangga) maupun fasilitas ibadah
(masjid/musholla). Beberapa mata air yang digunakan oleh masyarakat tersebut
diantaranya yaitu : 1) Mata Air di Dusun Mluweh, Dukuh Jleper, Ungaran Timur ; 2)
Mata air di dalam kawasan hutan di sekitar Perumahan Pring Kurung, Ungaran Timur;
dan 3) Mata Air di Dukuh Sidoro, Kelurahan Jabungan. Proses pemanfaatan mata air
sebagai sumber air warga tersebut, pertama-tama air ditampung terlebih dahulu pada bak
tandon air, kemudian secara gravitasi dialirkan menggunakan pipa atau selang ke rumahrumah
warga, yang kontinyu mengalir baik pada musim penghujan maupun musim
kemarau dan sudah sejak lama dikelola secara swadaya oleh masyarkat setempat, dalam
hal pengadaan pipa sambungan air dan pembangunan bak tandon air. Meskipun ada juga
bak tandon air yang berasal dari bantuan Dinas Pekerjaan Umum. Warga yang rumahnya
berada pada lokasi yang memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari tandon air, mereka
mengambil air menggunakan jerigen yang diisi di lokasi tertentu dimana ada pipa air
bersih yang terdekat dengan rumah tinggalnya. Mereka mengambil air minimal 2 hari
sekali untuk digunakan sebagai air kebutuhan rumah tangga untuk memasak, mencuci,
dan sumber air minum. Berdasarkan uraian tersebut, warga Penggaron mendapatkan
keuntungan dari keberadaan sumber daya alam (sumber air) yang berada di kawasan
Hutan Penggaron. Mereka telah memiliki kemampuan secara swadaya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Pemanfaatan sumber daya alam berupa
sumber air bersih tersebut merupakan sumber informasi bagi masyarakat untuk
mempersepsikan fungsi ekologis hutan.

Analisis Perilaku (Kegiatan Ekonomi) Masyarakat Terkait Keberadaan
Hutan Lindung
Kawasan Hutan Penggaron merupakan kawasan hutan yang berada dalam lingkup
2 wilayah administrasi kabupaten/ kota, yaitu Kabupaten Semarang dan Kota Semarang.
Kawasan hutan ini juga dilalui oleh jalur jalan lokal dan regional dengan kondisi aspal
permanen yang menghubungkan wilayah Kabupaten - Kota Semarang dan wilayah
sekitarnya (Salatiga, Boyolali, Magelang, Solo, Jogjakarta). Dampak dari dilaluinya
kawasan hutan oleh jalur jalan lokal dan regional tersebut disamping memicu tumbuhnya
kegiatan perumahan tradisional oleh warga masyarakat dan permukiman terencana oleh
pengembang (berikut aktivitas sosial ekonomi ikutannya), juga menjadikan kawasan
Hutan Penggaron sebagai bagian dari jalur distribusi ekonomi regional, ditambah adanya
harga lahan yang masih murah di kawasan hutan, maka akan mempertinggi minat
penguasaan lahan yang berada di sekitar kawasan hutan oleh individu, misalnya yang
sudah ada yaitu untuk pemakaman Cina.
Adanya fasilitas jaringan jalan, permukiman, dan fasilitas sosial ekonomi
pendukungnya yang ada di kawasan Hutan Penggaron, mengindikasikan bahwa kawasan
hutan ini relatif terbuka bagi masuknya kegiatan yang berorientasi kegiatan budidaya.
Adanya fasilitas permukiman penduduk yang berada di kawasan hutan serta budidaya
pertanian di kawasan hutan, lambat laun seiring pertumbuhan penduduk tentu bisa
berdampak terhadap berkurangnya luas hutan. Berdasarkan wawancara di lapangan,
perkembangan infrastruktur di Kawasan Penggaron yang selama ini ada merupakan andil
dari peran serta swasta, perhutani, pemerintah, dan masyarakat. Terlepas dari tujuan
pembangunan yang selama ini telah dilakukan, fakta tersebut mengindikasikan bahwa
Kawasan Hutan Penggaron bukan merupakan kawasan hutan yang terisolir, melainkan
sangat dekat dengan aktivitas budidaya yang telah tumbuh dan sangat berpotensi secara
alamiah untuk mengganggu berfungsinya hutan sebagai kawasan resapan air. Fakta di
lapangan juga menunjukkan bahwa aktivitas pertanian yang dilakukan oleh warga
setempat berlokasi di kawasan perbukitan yang sudah gundul (minim vegetasi) dan
berdasarkan wawancara di lapangan, lokasi sawah tersebut dahulunya merupakan area
tanaman pinus. Disamping aktivitas ekonomi berupa pertanian, warga Penggaron juga
menjalankan aktivitas ekonomi (perdagangan dan jasa) di sekitar permukiman warga,
misalnya warung kelontong, warung makan, salon, bengkel, dan sablon.


BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
4.2 Kondisi Hutan Penggaron sebagai Daerah Resapan Air
Berdasarkan kajian analisis yang telah dilakukan, maka perkembangan aktivitas
budidaya di kawasan Hutan Penggaron berpotensi untuk mengganggu fungsi Hutan
Penggaron sebagai daerah resapan air, jadi meskipun luas areal Hutan Penggaron tetap
namun kualitas fungsi hutannya sebagai daerah resapan air telah berkurang. Gangguan
yang terjadi akibat dari perkembangan aktivitas budidaya tersebut adalah : kegiatan
wisata, kegiatan pertanian, aktivitas sehari-hari masyarakat (mencari kayu bakar, mencari
pakan ternak, menggembala ternak dan bertani (sawah dan ladang) di kawasan Hutan
Penggaron, perkembangan sarana prasarana permukiman (jalan, jaringan listrik, fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, dan sebagainya), kerapatan vegetasi pohon yang ada di
sekitar area permukiman relatif lebih jarang dibandingkan dengan kerapatan pohon yang
tidak berlokasi di dekat area permukiman, dan adanya jalur jalan lokal dan regional
tersebut yang memicu tumbuhnya kegiatan perumahan tradisional oleh warga masyarakat
dan permukiman terencana oleh pengembang juga minat penguasaan lahan yang berada
di sekitar kawasan hutan oleh individu yang sudah ada untuk pemakaman Cina.
Berdasarkan poin-poin aktivitas budidaya yang mengganggu kelestarian fungsi
hutan tersebut di atas merupakan fenomena perilaku masyarakat setempat yang diteliti
dalam studi dan sekaligus merupakan indikasi awal terganggunya fungsi Hutan
Penggaron sebagai daerah resapan air. Meskipun studi ini tidak secara langsung
mengukur besarnya dampak yang telah terjadi akibat aktivitas budidaya tersebut.
Kesimpulan adanya gangguan fungsi lindung terhadap Hutan Penggaron didasarkan
kepada amanat undang-undang kehutanan bahwa di kawasan yang berfungsi lindung
tidak boleh dilakukan aktivitas budidaya. Disamping itu, juga terdapat kecenderungan
perilaku aktivitas budidaya yang dilakukan oleh masyarakat setempat semakin meluas
pada areal Hutan Penggaron yang diindikasikan dengan adanya pembukaan lahan-lahan
baru di areal hutan untuk sawah atau ladang. Semakin luasnya areal-areal sawah dan ladang di kawasan hutan lindung merupakan indikasi kuat bahwa fungsi hutan sebagai
daerah resapan air telah terganggu.

4.3. Persepsi dan Perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Fungsi Hutan sebagai
Daerah Resapan Air adalah :

4.4. Persepsi Masyarakat tentang Fungsi Hutan
Ada perbedaan persepsi tentang fungsi hutan menurut kajian teori dan menurut
persepsi masyarakat. Menurut kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas
dari bentuk pemanfaatannya (hutan produksi, suaka alam, dan sebagainya). Sehingga
aktivitas budidaya seharusnya tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena akan
mengganggu fungsi lindung itu sendiri. Sedangkan menurut persepsi masyarakat, hutan
memiliki banyak fungsi (fungsi majemuk) yaitu sebagai tempat rekreasi / berlibur (fungsi
sosial), tempat menyimpan cadangan air dan mencegah banjir/ erosi (fungsi ekologi),
tempat mencari penghasilan (fungsi ekonomi), dan fungsi lainnya.

4.5. Persepsi Masyarakat tentang Kebijakan Pengelolaan Hutan
Masyarakat tidak mengetahui regulasi terkait dengan hutan, sehingga masyarakat
tidak memiliki kerangka persepsi yang holistik tentang hutan lindung sebagai daerah
resapan air. Masyarakat juga tidak mengetahui hak dan kewajiban mereka dalam rangka
pelestarian hutan, sehingga perilaku masyarakat yang tinggal di kawasan hutan tersebut
tidak berjalan pada hak dan kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang
kehutanan tersebut.

4.6.Persepsi Masyarakat tentang Kelembagaan Pengelolaan Hutan
Menurut persepsi masyarakat mereka bukan merupakan bagian dari lembaga
pengelola hutan. Sehingga adanya persepsi tersebut berdampak terhadap timbulnya
perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan ketentuan pengelolaan hutan karena
masyarakat merasa bahwa mereka tidak terikat aturan yang ada di lembaga pengelola
hutan.

4.7. Persepsi Masyarakat tentang Hak dan Kewajiban dalam Pengelolaan Hutan
Masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik umum
(common property) sehingga mereka merasa berhak mengelola hutan dan memiliki
kewajiban memelihara kelestarian hutan sebagai daerah resapan air. Timbulnya persepsi
tersebut erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk memiliki akses terhadap
sumber daya hutan sebagai sumber mata pencaharian.

4.8. Perilaku Masyarakat (Aktivitas) Terkait Keberadaan Hutan Lindung
Menurut persepsi masyarakat, aktivitas (perilaku) yang mereka lakukan tidak
mengganggu fungsi hutan. Adanya persepsi ini berarti masyarakat belum memiliki
pemahaman bahwa aktivitas budidaya tidak boleh berlangsung di kawasan yang
berfungsi lindung. Aktivitas yang tidak boleh dilakukan di kawasan hutan tetapi justru
dilakukan di kawasan Hutan Penggaron adalah membakar hutan.


SARAN
Saran dalam studi ini diperlukan tindakan masyarakat terarah untuk menuju
kepada tumbuhnya persepsi dan perilaku masyarakat yang memiliki karakteristik persepsi
dan perilaku yang berorientasi pada pelestarian hutan. Aktivitas budidaya yang telah
berkembang perlu didata untuk secara berkala dimonitor sehingga dapat diketahui
perubahan luas tutupan areal Hutan Penggaron, untuk memantau rasio antara luas
kawasan budidaya dan luas kawasan non budidaya (hutan) sehingga kebijakan yang
dikeluarkan nantinya jelas bahwa di kawasan non budidaya tidak boleh berkembang
kegiatan budidaya yang mengganggu fungsi hutan sebagai daerah resapan air. Studi
lanjut diperlukan untuk menelaah tentang besarnya dampak aktivitas budidaya terhadap
fungsi Hutan Penggaron sebagai daerah resapan air.
Sumber informasi yang membentuk persepsi dan perilaku masyarakat tentang
fungsi hutan harus dikelola sehingga mengarah kepada timbulnya persepsi tentang fungsi
hakiki hutan sebagai daerah resapan air. Aktivitas Wanawisata Penggaron dapat
digunakan sebagai pusat informasi (information center) yang berfungsi menyampaikan
informasi baik kepada pengunjung yang berasal dari luar Penggaron maupun kepada
masyarakat yang tinggal di kawasan Hutan Penggaron. Aktivitas pertanian yang sudah
ada harus dibatasi. Rumah warga setempat perlu dilengkapi dengan sarana resapan air,
misalnya embung sebagai kompensasi pemanfaatan areal hutan untuk pertanian semusim
dan perumahan/ permukiman. Perlu ada pendataan status hak milik tanah untuk
menjamin hak dan kewajiban pemilik lahan, sehingga tidak akan memunculkan kesan tentang hutan sebagai barang publik (public goods) yang dilindungi dan tidak boleh
dimanfaatkan oleh individu tanpa seijin instansi berwenang.
Perlu tindakan sosialisasi dalam rangka mengarahkan persepsi dan perilaku
masyarakat setempat agar secara holistik memahami makna pelestarian hutan yang
menyangkut keterkaitan antara daerah hulu dan hilir sesuai dengan hukum yang
mengaturnya (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan berikut
peraturan pelaksanaannya). Dalam rangka sosialisasi ini, perlu juga dirumuskan tingkat
kedalaman materi yang perlu disampaikan terkait dengan konteks kejadian di lapangan
yang ada (keseimbangan teori dan praktek), misalnya dalam hal aktivitas pertanian yang

1 komentar:

Budy supriyono said...

Sip..

Post a Comment